CLOSE [X]

Apa Itu Martial Law di Korea Selatan? Ini Sejarah hingga Kontroversinya

Rabu, 04 Desember 2024 | 11:11 WIB   Penulis: Bimo Kresnomurti
Apa Itu Martial Law di Korea Selatan? Ini Sejarah hingga Kontroversinya

ILUSTRASI. Martial Law di Korea Selatan: Sejarah hingga Kontroversinya. REUTERS/Carlos Barria/Files


ATURAN KOREA SELATAN - JAKARTA. Kenali apa itu Martial Law yang terjadi di Korea Selatan. Situasi di Korea Selatan sedang ramai terkait kebijakan Martial Law yang diambil oleh presiden, Yoon Suk Yeol.

Korea Selatan sedang bergejolak terkait adanya Martial Law yang dikeluarkan dengan alasan kekuatan anti negara yang ingin memberontak. Kekuatan yang dia maksud adalah oposisi yang menguasai Majelis Nasional.

Martial Law pada dasarnya diatur dalam Konstitusi Korea Selatan dan undang-undang terkait keadaan darurat. Lalu, apa itu Martial Law yang sedang ditolak oleh masyarakat dan parlemen? Simak penjelasan selengkapnya.

Baca Juga: Anggota Parlemen Korea Selatan Tuntut Pemakzulan Presiden Yoon Suk Yeol

Pengertian Martial Law

Unjuk rasa di Majelis Nasional Korea Selatan

Martial law atau hukum darurat militer di Korea Selatan merujuk pada situasi di mana otoritas sipil disubordinasikan di bawah kontrol militer untuk menjaga keamanan nasional dan ketertiban publik.

Dalam kondisi ini, militer memiliki kewenangan untuk mengambil alih fungsi pemerintah sipil, termasuk pengendalian aktivitas masyarakat, media, serta penegakan hukum.

Pemerintah dapat memberlakukan martial law dalam situasi ekstrem seperti ancaman perang, kerusuhan besar, bencana alam, atau kegagalan sistem pemerintahan sipil untuk menjalankan fungsi dasar negara.

Baca Juga: Presiden Korea Selatan Sempat Deklarasi Darurat Militer, Apa Itu Darurat Militer?

Sejarah Martial Law

Martial law atau darurat militer telah menjadi bagian dari sejarah Korea Selatan dalam menghadapi situasi politik yang penuh gejolak. Sepanjang sejarahnya, penerapan martial law sering kali memicu kontroversi dan meninggalkan jejak mendalam bagi perjalanan demokrasi negara tersebut.

Revolusi April 1960 menjadi momen penting ketika martial law pertama kali diberlakukan secara besar-besaran. Pada masa itu, kerusuhan besar terjadi akibat protes masyarakat terhadap dugaan kecurangan dalam pemilu yang dilakukan oleh Presiden Syngman Rhee.

Untuk mengendalikan situasi, pemerintah menerapkan martial law, tetapi hal ini tidak mampu meredam kemarahan rakyat. Akhirnya, Presiden Rhee dipaksa mundur, membuka jalan bagi transisi politik di Korea Selatan.

Pembunuhan Park Chung-hee pada tahun 1979 kembali menjadi alasan diberlakukannya martial law. Setelah Park, yang saat itu menjabat sebagai presiden, dibunuh oleh kepala intelijennya sendiri, situasi politik menjadi tidak stabil.

Untuk menjaga ketertiban, militer mengambil alih kontrol, meskipun langkah ini justru meningkatkan ketegangan di tengah masyarakat yang mendambakan perubahan.

Baca Juga: Korea Selatan Berikan Likuiditas Tanpa Batas ke Pasar Keuangan Usai Kekacauan Politik

Namun, salah satu penerapan martial law yang paling kontroversial terjadi pada Gerakan Gwangju 1980. Saat itu, protes besar-besaran di Gwangju pecah sebagai bagian dari gerakan pro-demokrasi.

Pemerintah militer, di bawah Jenderal Chun Doo-hwan, merespons dengan keras, mengerahkan militer untuk membubarkan demonstrasi. Aksi ini berujung pada tragedi yang menewaskan ratusan orang, meninggalkan luka mendalam dalam sejarah Korea Selatan.

Ketiga peristiwa ini mencerminkan bagaimana martial law digunakan di Korea Selatan, baik sebagai alat pengendalian maupun sebagai simbol penindasan.

Meski kini Korea Selatan telah bertransformasi menjadi demokrasi yang mapan, sejarah kelam martial law tetap menjadi pengingat penting akan perjuangan rakyatnya untuk meraih kebebasan dan keadilan.

Kewenangan di Bawah Martial Law

Saat Martial Law dikeluarkan, ada beberapa konsekuensi yang ditimbulkan terkait kewenangan pemerintahan.

  • Pembatasan Hak Sipil: Kebebasan berkumpul, berbicara, dan bergerak dapat dibatasi.
  • Kontrol Media: Media massa dapat diawasi ketat untuk mencegah penyebaran informasi yang dianggap meresahkan.
  • Penegakan Hukum: Pengadilan militer dapat menggantikan pengadilan sipil untuk mengadili pelanggaran hukum selama masa darurat.
  • Mobilisasi Militer: Militer dapat dikerahkan untuk menjaga keamanan di jalanan dan mengendalikan protes.

Kontroversi yang terjadi

Martial law sering dikritik karena berpotensi disalahgunakan oleh pemerintah otoriter untuk mempertahankan kekuasaan, seperti yang terjadi di era diktator militer. Penerapannya sering memicu pelanggaran hak asasi manusia dan tindakan represif terhadap oposisi politik.

Sejak transisi ke demokrasi pada 1987, penerapan martial law di Korea Selatan menjadi sangat jarang dan hanya akan digunakan sebagai langkah terakhir dalam kondisi krisis yang luar biasa.

Pemerintah dan militer kini lebih berfokus pada penguatan institusi demokrasi untuk menangani situasi darurat.

Baca Juga: Bank of Korea Gelar Rapat Luar Biasa di Pagi Ini, Bursa Saham Korea Dibuka Normal

Pada Desember 2024

Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, pada Rabu menyatakan akan mencabut deklarasi darurat militer mendadak. Langkah ini dilakukan setelah menghadapi perlawanan keras dari parlemen yang secara tegas menolak upayanya untuk melarang aktivitas politik dan menyensor media.

Melansir dari Reuters, dalam krisis politik terbesar Korea Selatan dalam beberapa dekade, Yoon mengejutkan Korsel dengan memberlakukan darurat militer pada Selasa (3/12) malam untuk menghadapi "kekuatan anti-negara" di antara lawan politik domestiknya.

Namun, para anggota parlemen yang marah secara bulat menolak dekrit tersebut. Menurut laporan kantor berita Yonhap, kabinet telah sepakat pada Rabu pagi untuk membatalkan keputusan darurat militer itu.

Baca Juga: Makin Panas! Amerika Tambah Larangan Ekspor Semikonduktor ke Perusahaan China

Di luar gedung parlemen Majelis Nasional, para demonstran meneriakkan yel-yel dan bertepuk tangan. “Kami menang!” teriak mereka, sementara seorang pengunjuk rasa memukul drum.

Partai Demokratik, oposisi utama, menyerukan agar Yoon, yang menjabat sejak 2022, mengundurkan diri atau menghadapi pemakzulan.

Kini Yoon Suk Yeol sedang dalam ancaman pemakzulan sebagai mekanisme konstitusional. Ini memungkinkan parlemen untuk mengajukan dan memutuskan pemberhentian presiden atau pejabat tinggi negara yang dianggap melanggar hukum atau konstitusi.

Tonton: Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol Umukan Darurat Militer

Selanjutnya: Promo Richeese Factory Desember 2024, Kopi-Snack dan Chicken Katsu Mulai Rp 20.000-an

Menarik Dibaca: Love Bombing, Cinta di Awal Hubungan Berujung Toxic Relationship

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Bimo Kresnomurti
Terbaru