Tujuannya, agar para PNS dan keluarganya di masa itu memberikan dukungan pada program-program pemerintah. Pada tahun 1954, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954 tentang Pemberian Persekot Hari Raja kepada Pegawai Negeri.
Sesuai dengan namanya, sebelum seperti sekarang, pada awalnya THR PNS berbentuk persekot atau pinjaman di muka, di mana nantinya harus dikembalikan lewat pemotongan gaji.
THR diberikan pemerintah kepada PNS sebesar Rp 125 hingga Rp 200 dan dicairkan setiap akhir bulan Ramadan atau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Selain uang THR, PNS kala itu itu juga diberikan paket berupa sembako, kebiasaan yang belakangan rupanya banyak ditiru dan jadi tradisi perusahaan-perusahaan di Indonesia jelang Lebaran hingga saat ini.
Baca Juga: Ada THR dan PEN, ekonom menilai ekonomi sulit tumbuh hingga 7% di kuartal kedua
Sesuai aturan pemerintah saat itu, THR hanya berlaku untuk PNS, bukan pekerja swasta. Hal itu rupanya ditentang keras oleh kaum buruh, terutama organisasi buruh yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Para penentang berargumen, THR yang hanya diberikan kepada pamong praja sebagai tindakan tidak adil. Padahal, mereka juga sama-sama bekerja, baik di perusahaan swasta maupun perusahaan negara.
Baca Juga: THR di Masa Pandemi Covid-19
Dari waktu ke waktu, kaum buruh terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR. Puncaknya, kaum buruh melakukan mogok kerja serentak nasional menuntut hak THR dari pemerintah.
Untuk mengakomodir buruh, pemerintah lewat Menteri Perburuhan S.M Abidin kemudian menerbitkan Surat Edaran Nomor 3667 Tahun 1954. Besaran THR untuk pekerja swasta adalah sebesar seperduabelas dari gaji yang diterima dalam rentan waktu satu tahun. Jumlah paling sekurang-kurangnya adalah Rp 50 dan paling besar Rp 300.