CLOSE [X]

Sejarah Hari Jadi Kota Solo yang Diperingati Setiap 17 Februari

Sabtu, 17 Februari 2024 | 18:50 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Sejarah Hari Jadi Kota Solo yang Diperingati Setiap 17 Februari

ILUSTRASI. Sejarah Kota Solo yang Diperingati Setiap 17 Februari. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/tom.


SEJARAH - Hari Ulang Tahun (HUT) ke-279 Kota Solo, Jawa Tengah akan diperingati pada Minggu, 17 Februari 2024. Sejarah Hari Jadi Kota Solo berawal dari perpindahan pusat kekuasaan dari Kartasura ke Solo pada 17 Februari 1745. 

Kondisi ini menghatuskan Pakubuwono II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya dan pada tahun 1745 kerajaan di Kartusura dibongkar dan diangkut dalam sebuah prosesi ke Surakarta, di tepi Sungai Solo.

Namun kejayaan kerajaan terus menurun, pada tahun 1757 sebuah kerajaan saingan dari Mangkunegoro didirikan tepat di pusat Solo.

Jadi, seperti apa sejarah singkat Kota Solo? 

Baca Juga: ​Biografi Singkat R.M. Tirto Adhi Soerjo, Bapak Pers Nasional di Indonesia

Sejarah Kota Solo 
Sejarah Kota Solo

Sejarah kota Solo bermula dari sebuah desa di tepi Sungai Solo bernama Desa Sala. Dikutip dari laman resmi Pemerintah Surakarta, sampai tahun 1744, Solo dikenal sebagai desa terpencil dan tenang, berjarak 10 km ke Timur dari Kartasura, pusat Kerajaan Mataram pada waktu itu. 

Tetapi pada masa kepemimpinan Susuhan Mataram Pakubuwono II, Kerajaan Mataram didukung etnis Tionghoa melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan tersebut dipimpin oleh Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning. 

Pemicu pemberontakan adalah keberpihakan Pakubuwono II kepada Belanda. Padahal Sunan Pakubuwono II telah bersumpah setia untuk mengusir Belanda dari Jawa. 

Akibatnya, Kartusura akhirnya diduduki oleh Belanda. Kondisi ini mengharuskan Pakubuwono II mencari tempat yang lebih menguntungkan untuk membangun kembali kerajaannya.

Pada 1745 kerajaan di Kartasura dibongkar dan diangkut dalam sebuah prosesi ke Surakarta, di tepi Sungai Solo. Pemindahan pusat kekuasaan dari Kartasura ke Solo yang kemudian bernama Surakarta pada 17 Februari 1745, dijadikan tonggak peringatan hari jadi Kota Surakarta.

 

Baca Juga: Sejarah Hari Juang Kartika TNI AD, Pertempuran 4 Hari 4 Malam di Ambarawa

Perjanjian Giyanti dan pembagian Kesultanan Mataram 

Seusai pemindahan, terjadi pemberontakan di Kesultanan Mataram. Dikutip dari laman Kebudayaan Kemendikbud, ada tiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. 

Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II merupakan raja pendiri dari Kasunanan Surakarta. Sementara, Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik dengan Pakubuwana II yang sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). 

Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. 

Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. 

Baca Juga: Cek Daftar UMK Jawa Tengah dan DIY Tahun 2024, Pekerja Perlu Catat Daftarnya

Alasan utamanya ialah ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. 

Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. 

VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Di sisi lain, Pangeran Mangkubumi pun juga meminta untuk menjadi takhta pewaris Mataram. 

Baca Juga: Daftar UMK Jateng 2024: Tertinggi Kota Semarang, Terendah Kabupaten Banjarnegara

Perjanjian Giyanti salah satu isinya adalah Kesultanan Mataram yang dibagi menjadi dua wilayah. Wilayah pertama dikuasai Pakubawana II dan diberi nama Kasunanan Surakarta. 

Sementara wilayah kedua dipimpin Pangeran Mangkubumi yang berkedudukan di Kasultanan Yogyakarta dan bergelar Sultan Hamengkubuwana I.

Setelah itu, Kasunanan Surakarta memberikan sebagian daerahnya kepada Raden Mas Said untuk mengurangi kekuasaan. Hal itu ditandai dengan gelar Adipati Mangkunegara I kepada Raden Mas Said yang memiliki keraton bernama Praja Mangkunegaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Virdita Ratriani

Terbaru