Ultah ke-276, inilah sejarah lahirnya Kota Solo

Rabu, 17 Februari 2021 | 14:04 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Ultah ke-276, inilah sejarah lahirnya Kota Solo

ILUSTRASI. Warga berebut gunungan pada perayaan Grebeg Sekaten 2019 Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Jawa Tengah, Sabtu (9/11/2019). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/aww.


SEJARAH -  Setiap tanggal 17 Februari diperingati sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Solo, Jawa Tengah. Tepat hari ini, Rabu (17/2/2021), Kota Solo merayakan hari jadinya ke-276. Lantas, seperti apa sejarah Kota Solo? 

Sejarah Kota Solo 

Sejarah kota Solo berdasarkan penelitian menyebutkan bahwa nama Solo ada karena Kota Surakarta didirikan di sebuah desa bernama Desa Sala, di tepi Sungai Solo.

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Surakarta, sampai tahun 1744, Solo dikenal sebagai desa terpencil dan tenang, berjarak 10 km ke timur dari Kartusura, pusat Kerajaan Mataram pada waktu itu. 

Tetapi pada masa kepemimpinan Susuhan Mataram Pakubuwono II, Keraton Mataram di Kartasura luluh lantak pasca pemberontakan RM Garendi. 

Setelah pemberontakan dipadamkan, raja memutuskan memindahkan keraton untuk membangun kembali kerajaannya. Kemudian, Pakubawana II mengutus satu tim untuk mencari lokasi yang cocok.

Baca Juga: Aturan perjalanan baru kereta api, usia 5 tahun ke atas harus bawa surat bebas corona

Pemindahan pusat kekuasaan dari Kartasura ke Solo yang kemudian bernama Surakarta pada 17 Februari 1745, dijadikan tonggak peringatan hari jadi Kota Surakarta.

Raja Paku Buwono II bersama para tokoh seperti Ki Gede Sala, Pangeran Mijil, Tumenggung Honggowongso hingga Kapten Baron Van Hohendorf tak tinggal diam. 

Akhirnya mereka bersama rakyat melakukan boyongan (memindahkan) keraton ke Desa Sala sebagai tempat pemerintahan yang baru.

Rakyat bergotong royong tanpa memandang golongan mendirikan Keraton Surakarta. Keraton baru tersebut diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat.

Setelah upacara selesai semua peserta upacara menaiki Andong untuk menuju nDalem Joyokusuman dalam rangka menyemarakkan Semarak Jenang Sala.

Baca Juga: Apa saja pelanggaran yang wajibkan pengguna tol didenda? Ini informasinya

Perjanjian Giyanti dan pecahnya Kesultanan Mataram 

Seusai pemindahan, terjadi pemberontakan di Kesultanan Mataram. 

Dikutip dari laman Kebudayaan Kemendikbud, ada tiga tokoh utama yang terlibat dalam perang saudara ini, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa. 

Berdasarkan silsilahnya, Pakubuwana II merupakan raja pendiri dari Kasunanan Surakarta.  Sementara, Pangeran Mangkubumi adalah kakak beradik dengan Pakubuwana II yang sama-sama putra dari Amangkurat IV (1719-1726). 

Sedangkan Raden Mas Said merupakan salah satu cucu Amangkurat IV, atau lebih tepatnya ialah keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi. 

Baca Juga: 3 Jenis pelanggaran yang wajibkan pengguna tol didenda 2 kali lipat tarif terjauh!

Raden Said sendiri meminta haknya sebagai pewaris takhta Mataram yang diduduki oleh pamannnya yakni, Pakubuwana II. 

Alasan utamanya ialah ayah Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara merupakan putra sulung dari Amangkurat IV. Oleh karenanya, Arya Mangkunegara lah yang seharusnya menjadi raja Mataram meneruskan Amangkurat IV. 

Namun, karena Arya Mangkunegara sering menentang kebijakan VOC akhirnya berimbas harus diasingkan ke Srilanka hingga meninggal dunia. 

VOC pun kemudian menaikkan putra Amangkurat IV lainnya, yakni Pangeran Prabusuyasa, sebagai penguasa Mataram selanjutnya dan bergelar Paku Buwana II.

Baca Juga: Victoria Care (VICI) hadirkan kawasan wisata edukasi Oemah Herborist Bali

Di sisi lain, Pangeran Mangkubumi pun juga meminta untuk menjadi takhta pewaris Mataram. 

Perjanjian Giyanti salah satu isinya adalah Kesultanan Mataram yang dibagi menjadi dua wilayah. Wilayah pertama dikuasai Pakubawana II dan diberi nama Kasunanan Surakarta. 

Sementara wilayah kedua dipimpin Pangeran Mangkubumi yang berkedudukan di Kasultanan Yogyakarta dan bergelar Sultan Hamengkubuwana I.

Setelah itu, Kasunanan Surakarta memberikan sebagian daerahnya kepada Raden Mas Said untuk mengurangi kekuasaan. Hal itu ditandai dengan gelar Adipati Mangkunegara I kepada Raden Mas Said yang memiliki keraton bernama Praja Mangkunegaran.

Selanjutnya: Melania Trump cemburu dengan Jill Biden, ini gara-garanya

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Virdita Ratriani
Terbaru