​Legenda singkat Rawa Pening, tempat wisata populer di Kabupaten Semarang

Sabtu, 10 Oktober 2020 | 11:45 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
​Legenda singkat Rawa Pening, tempat wisata populer di Kabupaten Semarang


SEJARAH - Rawa Pening merupakan salah objek wisata yang terkenal di Kabupaten Semarang. 

Danau Rawa Pening memiliki luas sekitar 2.670 hektar dan berada di empat kecamatan yakni Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. 

Ada beberapa objek wisata di Rawa Pening yang bisa dinikmati oleh wisatawan seperti Bukit Cinta. 

Salah satu hal yang membuat Rawa Pening terkenal adalah legenda Rawa Pening. Legendanya yang menarik kerap muncul di materi pelajaran siswa Sekolah Dasar. 

Baca Juga: Sido Muncul angkat wisata Rawa Pening lewat iklan

Legenda Rawa Pening singkat


Penambang gambut di Rawa Pening

Asal usul Rawa Pening menjadi pertanyaan oleh sebagian masyarakat. Dirangkum dari laman Belajar.kemendikbud.go.id dan informasi wisata Kab. Semarang, legenda Rawa Pening dimulai dari sebuah desa yang bernama Desa Ngasem, terletak di kaki gunung Telomoyo. 

Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepada desa yang arif dan bijaksana bernama Ki Sela Gondang. Ki Sela Gondang memiliki seorang putri bernama Endang Sawitri yang cantik. 

Pada suatu hari, diperlukan sarana tolak bala berupa pusaka sakti sebagai salah satu syarat agar penyelenggaraan acara merti  desa bisa berjalan lancar tanpa ada halangan apapun. 

Endang Sawitri diutus untuk meminjam pusaka sakti milik Ki Hajar Salokantara, sahabat Ki Sela Gondang. Namun, Ki Hajar Salokantara memberikan pesan kepada Endang Sawitri untuk jangan meletakkan pusaka di atas pangkuannya. 

Baca Juga: Pemerintah prioritaskan perbaikan 15 danau

Penambang gambut di Rawa Pening

Namun, di tengah perjalanan pulang, Endang Sawitri melanggar pesan tersebut. Akibatnya, Endang Sawitri hamil. 

Ki Sela Gondang pun memohon agar Ki Hajar Salokantara mau menikahi sang putri untuk menutup aib keluarganya. Dengan berat hati, maka Ki Hajar Salokantara pun menerima Endang Sawitri sebagai istrinya. 

Setelah lahir, ternyata anaknya berupa naga yang diberi nama Baro Klinting. Untuk melepas kutuk pusaka, Baro Klinting harus menemui Ki Hajar Salokantara yang sedang bertapa di gunung Telomoyo dan bertapa dengan melingkari gunung Telomoyo dengan tubuhnya. 

Selanjutnya Ki Hajar Salokantara menyuruh Baru Klinting untuk bertapa kembali di gunung Telomoyo agar dia terlepas dari kutukan pusaka sakti tersebut.  

Baca Juga: Menghalau stres dari pinggir Rawa Pening

Setelah selesai bertapa, Baro Klinting berubah menjadi manusia. Setelah berubah wujud manusia, Baro Klinting meminta makanan dan minuman, namun diusir oleh penduduk desa. 

Hanya seorang janda tua yang bernama Nyai Latung yang memberikan makanan dan minuman. Baro Klinting menancapkan sebatang lidi dan mengadakan sayembara siapa yang dapat mencabut lidi, maka ia adalah orang hebat. 

Tidak seorangpun penduduk desa yang sanggup. Saat lidi dicabut oleh Baro Klinting, menyemburkah air yang sangat deras menjadi air bah, pendudukpun memukul kentongan tanda bahaya. 

Mendengar suara kentongan, Nyai Latung naik ke atas lesung sesuai dengan pesan dari Baro Klinting. Air bah tersebut menjelma menjadi genangan luas berbentuk rawa-rawa denga airnya yang bening.  Nyai Latung menamakan desa yang tengggelam dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang mebentuk rawa. 

Selanjutnya: Berharap revitalisasi Rawa Pening terealisasi

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Virdita Ratriani

Terbaru