Sejarah perkembangan penyediaan air minum di Indonesia

Senin, 15 Maret 2021 | 14:32 WIB   Penulis: Virdita Ratriani
Sejarah perkembangan penyediaan air minum di Indonesia

ILUSTRASI. IPA Pejompongan I


SEJARAH - Perkembangan penyediaan air minum di Indonesia ternyata sudah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. 

Dikutip dari buku Beberapa Catatan Sejarah Air Minum Indonesia 1800-2005, Kementerian PUPR, awalnya, orang-orang yang tinggal di Batavia menjadikan air Kali Ciliwung sebagai sumber air minum yang ditampung di sebuah waduk.

Air Sungai Ciliwung dahulu memang sangat jernih. Walaupun demikian, tidak semua orang Belanda mau minum air Ciliwung. Khususnya para ambtenaar kelas atas menggunakan air yang didatangkan dari luar Batavia. 

Sebagaimana halnya dengan di Batavia, di kota-kota lainnya yang didiami orang Belanda, dibangun pula sarana penyediaan air minum walaupun masih sederhana, dan umumnya memanfatkan sumber mata air.

Baca Juga: ​Sejarah IPA Pejompongan I, proyek pertama penyediaan air minum di Indonesia

Sekitar tahun 1880-1890, Dinas Pengairan Belanda membangun saluran air sepanjang 12 km dari sebuah bendungan di Sungai Elo ke pusat kota Magelang, Jawa Tengah, untuk keperluan air minum dan pengairan. 

Di Surabaya tahun 1890, atas jasa-jasanya merintis penyediaan air minum, dua orang Belanda bernama Mouner dan Bernie diberi konsesi mengelola mata air Umbulan di Pasuruan. 

Mereka memasang pipa sepanjang lebih dari 60 km dari wilayah Pasuruan hingga ke kota Surabaya, yang pengerjaannya dilakukan dalam dua tahun. Lalu, pada tahun 1900 berdirilah perusahaan air minum Kota Surabaya.

Waktu itu, rumah-rumah yang dianggap mewah diwajibkan oleh pemerintah Hindia Belanda berlangganan, dan dalam waktu tiga tahun, perusahaan air minum itu memiliki
1.588 pelanggan. 

Baca Juga: ​Mengenal Sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang dan terbesar di Pulau Jawa

Tahun 1906, perusahaan air minum itu dijadikan sebagai Dinas Air Minum Kota Surabaya, yang kemudian menjadi PDAM Kota Surabaya sampai sekarang.

Pada akhir masa penjajahan, kapasitas produksi air minum di seluruh Indonesia adalah sekitar 3.000 liter per detik. 

Menariknya, bahwa sebagian investasi sarana air minum yang telah dikeluarkan pihak swasta pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimasukkan sebagai utang pemerintahan Hindia Belanda kepada swasta, yang harus dibayar melalui Pemerintah Kerajaan Belanda.

Melalui Konferensi Meja Bundar, akhirnya utang tersebut, sebesar 4,5 milyar gulden, dibayar lunas oleh Pemerintah Indonesia.

Baca Juga: 9 Manfaat jalan kaki untuk bumil, dapat membantu proses persalinan

Penyediaan proyek air minum setelah Indonesia Merdeka

Setelah Indonesia merdeka, pada beberapa tahun pertama boleh dikatakan hampir tidak ada pembangunan sektor air minum di Indonesia. 

Hal itu karena pemerintah masih disibukkan dengan perang mempertahankan kemerdekaan menghadapi agresi Belanda dan pemberontakan di berbagai kawasan.

Masa awal kemerdekaan dimulai dengan rehabilitasi dan peningkatan kapasitas sistem penyediaan air minum untuk kota Jakarta, yang diikuti oleh kota-kota besar lainnya, dalam kerangka Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana. 

Hasilnya, hingga tahun 1968, kapasitas produksi air minum sudah mencapai 9.000 liter per detik dengan cakupan pelayanan di daerah perkotaan sebesar 19 persen.

Proyek pertama yang dibangun adalah IPA Penjompongan I didorong oleh kebutuhan air yang sangat mendesak bagi warga Jakarta yang saat itu jumlahnya meningkat dengan sangat pesat. 

Kapasitas pelayanan yang ada dari mata air Ciburial dengan kapasitas 500 liter/detik yang dibangun pada zaman kolonial dinilai tidak akan mencukupi lagi.

Baca Juga: Simak 7 cara menurunkan berat badan dalam seminggu

Sehingga, pada 23 Desember 1953 dimulailah pembangunan IPA Penjompongan I dengan kapasitas 2.000 liter/detik dan mulai berproduksi pada 1957. 

Selain pembangunan IPA Pejompongan I pada awal-awal kemerdekaan itu, pengembangan bidang air minum masih terbatas pada pembangunan instalasi pengolahan air (IPA) di beberapa ibu kota provinsi seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Padang, Manado dan Makassar. 

Setelah proyek-proyek tersebut rampung, sesuai dengan PP No. 18 tahun 1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan sebagian urusan Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonomi Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Pulau Jawa, pengelolaan pun kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah. 

Mayoritas sistem penyediaan air minum itu telah mengambil bentuk sebagai badan usaha milik daerah dengan nama PDAM, Perusahaan Daerah Air Minum.

Selanjutnya, pada Era Orde Baru yang dimulai pada tahun 1969 merupakan peletak dasar pembangunan sektor air minum yang lebih sistematis dan terencana, di mana pembangunan dilakukan secara berkala melalui rencana pembangunan lima tahunan atau Repelita.

Selanjutnya: Proyek SPAM Karian-Serpong (Timur) bakal tambah perolehan kontrak

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Halaman   1 2 Tampilkan Semua
Editor: Virdita Ratriani
Terbaru