Sejarah Kemunculan Fenomena Sound Horeg, Perkembangan, hingga Kontroversi

Sabtu, 02 Agustus 2025 | 06:15 WIB   Penulis: Bimo Kresnomurti
Sejarah Kemunculan Fenomena Sound Horeg, Perkembangan, hingga Kontroversi

ILUSTRASI. Warga menyaksikan gelaran Urek Urek Carnival yang diiringi perangkat audio berkapasitas besar di Desa Urek-urek Kecamatan Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/7/2025). Karnaval dengan iringan-iringan audio kapasitas besar tersebut diselenggarakan tiap tahun saat momentum selamatan desa atau setelahnya dalam rangka memeriahkan bersih desa yang diperingati pada bulan Suro pada penanggalan Jawa. ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya/nym.


KONTAN.CO.ID - Simak sejarah Sound Horeg, perkembangan, hingga kontroversi saat ini. Fenomena mendengarkan musik dengan suara keras tengah menjadi perbincangan di masyarakat.

Sound horeg merupakan salah satu fenomena budaya populer yang berkembang pesat di wilayah pedesaan Jawa Timur sejak awal 2000-an.

Ciri khas utama dari sound horeg terletak pada dentuman bass yang ekstrem hingga menciptakan efek getar pada tubuh dan lingkungan sekitarnya.

Lalu, seperti apa awal tradisi masyarakat dan perkembangan hingga saat ini? Simak informasi menarik selengkapnya.

Baca Juga: Sound Horeg Haram, Ini Bahaya Mendengarkan Musik dengan Suara Keras bagi Kesehatan

Arti dan Sejarah Sound Horeg

sound horeg

Arti Sound horeg secara etimologi berasal dari istilah “sound” (bahasa Inggris: suara) dan “horeg” (Jawa: bergetar) menurut Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (KBJI) oleh Kemendikbud.

Nama ini mencerminkan karakteristik audio yang sangat kuat, terutama bass yang membuat tubuh dan bangunan bergetar.

Menurut penelitian Sound Horeg as A Popular Cultural Discourse: A Cultural Criticism Study of Religious Responses in East Java oleh Moh Didik (2025), akar fenomena ini bisa ditelusuri ke tradisi religi dan hajatan rakyat di desa-desa Kabupaten Malang sejak era 1980-an.

Lantas, siapa penemu Sound Horeg? Belum ada penelitian yang menarik kesimpulan adanya tokoh utama dari budaya tersebut.

Awalnya, masyarakat hanya menggunakan sound system sederhana dalam acara takbiran keliling desa, kemudian berkembang menjadi bentuk yang lebih besar sekitar awal 2000-an, saat perangkat audio mulai dipasang di atas truk dan digunakan dalam karnaval masyarakat.

Baca Juga: MUI Jatim Haramkan Sound Horeg, Ini Alasannya!

Perkembangan Pesat

Fenomena menjadi populer di Malang sekitar tahun 2014 ketika postingan Sound horeg viral di media sosial. Sejak saat itu,Sound horeg menyebar hingga ke Jawa Tengah dan berbagai wilayah di Jatim lainnya seperti Jember, Banyuwangi, dan Surabaya.

Biasanya digunakan untuk acara hajatan, khitanan, karnaval, hingga sahur Ramadan, dengan sistem audio berdaya besar (subwoofer + speaker full-range) dan musik seperti dangdut koplo remix atau EDM lokal.

Bentuk modernnya juga mencakup ajang battle sound, yakni kompetisi antar kelompok sound system yang sering diadakan di lapangan terbuka agar suara paling keras dan teknis terbaik menjadi pemenang.

Baca Juga: Sedang Viral di Medsos, Ini Arti Kata Rojali dan Rohana

Kontroversi

Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur mengeluarkan Fatwa Haram untuk Sound horeg. MUI menerbitkan Fatwa Nomor 1 Tahun 2025 tentang Penggunaan Sound horeg, sebagai respons atas fenomena Sound horeg yang belakangan menuai kontroversi dan keresahan publik di berbagai daerah.

MUI Jatim menyatakan bahwa kemajuan teknologi audio digital pada dasarnya positif dan dibolehkan jika digunakan dalam kegiatan sosial, budaya, keagamaan, dan lainnya—selama tidak bertentangan dengan hukum serta prinsip-prinsip syariah.

Penggunaan Sound horeg yang berlebihan, terutama yang melebihi ambang batas wajar, hingga mengganggu kenyamanan, kesehatan, bahkan merusak fasilitas umum, dinyatakan haram.

Baca Juga: Fatwa MUI Jatim: Sound Horeg yang Timbulkan Kemudaratan Hukumnya Haram

Terlebih saat disertai aksi joget campur laki-laki dan perempuan, membuka aurat, dan kemaksiatan lainnya, baik dilakukan di tempat terbuka maupun dibawa keliling permukiman warga.

Sound horeg diperbolehkan jika volumenya masih dalam ambang wajar, digunakan dalam acara positif seperti pengajian, shalawatan, atau resepsi pernikahan, serta tidak mengandung unsur maksiat.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ekspresi budaya lokal, tetapi juga menunjukkan peran teknologi dan komunitas kreatif desa dalam membentuk identitas kolektif baru di ruang publik pedesaan.

Demikian informasi menarik terkait sejarah Sound Horeg hingga perkembangan saat ini.

Tonton: Antrean Haji di Indonesia Makin Panjang, Ada yang hingga 47 Tahun

Selanjutnya: Asing Net Sell Jumbo Rp 2,5 Triliun, Cek Saham yang Banyak Dijual Sepekan Ini

Menarik Dibaca: Resep Dodol Agar-Agar Cokelat yang Super Gampang, Lembut dan Nyoklat Banget

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Bimo Kresnomurti

Terbaru